Dewasa
ini, pendidikan karakter mulai marak dibicarakan. Tetapi umumnya
penerapan pendidikan karakter ini masih terbatas pada jenjang pendidikan
pra-sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). Sementara
pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat jarang.
Kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter
ini, meskipun terdapat pelajaran Pancasila, Kewarganegaraan, dan
semisalnya, namun itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran
aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera
bangkit dari ketertinggalannya, maka Indonesia harus merombak sistem
pendidikan yang ada saat ini.
Beberapa
penelitian mengungkapkan pentingnya pendidikan karakter. Dalam buletin
yang diterbitkan oleh Character Education Partnership, diuraikan bahwa
hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis
menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi
akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik. Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan
secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan
pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil
dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis.
Sebuah
buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School
Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil
penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap
keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor
resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang
disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan
bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan
berkomunikasi.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan
seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh
remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas,
dan sebagainya.
Pendidikan
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan
karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan
pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih
mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain
itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal
dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena
lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi
dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya,
kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek
kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi
pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa
kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan
pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah
(80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah.
Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh”
karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi
dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak
masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini
tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana
sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa
tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak
percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja
biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka,
tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran,
terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP
dan SMU.
Jadi,
pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent
untuk dilakukan. Seperti yang pernah diucapkan oleh Dr. Martin Luther
King, “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan
plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).
Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka
tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia.
No comments:
Post a Comment